Halaman

Selasa, 17 Desember 2013

PENGERTIAN POLITIK ETIS

Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa. Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang. Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi: 1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian 2. Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi 3. Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulsian Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini. Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia. Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) yang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah. Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara orang-orang Belanda dan orang-orang pribumi. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap pribumi yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya. Penyimpangan Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan penyimpangan tersebut. • Irigasi Pengairan hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi. • Edukasi Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya. • Migrasi Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatera Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya. Dari ketiga penyimpangan ini, terjadi karena lebih banyak untuk kepentingan pemerintahan Belanda. Kritik Pelaksanaan politik etis bukannya tidak mendapat kritik. Kalangan Indo, yang secara sosial adalah warga kelas dua namun secara hukum termasuk orang Eropa merasa ditinggalkan. Di kalangan mereka terdapat ketidakpuasan karena pembangunan lembaga-lembaga pendidikan hanya ditujukan kepada kalangan pribumi (eksklusif). Akibatnya, orang-orang campuran tidak dapat masuk ke tempat itu, sementara pilihan bagi mereka untuk jenjang pendidikan lebih tinggi haruslah pergi ke Eropa, yang biayanya sangat mahal. Ernest Douwes Dekker termasuk yang menentang ekses pelaksanaan politik ini karena meneruskan pandangan pemerintah kolonial yang memandang hanya orang pribumilah yang harus ditolong, padahal seharusnya politik etis ditujukan untuk semua penduduk asli Hindia Belanda (Indiers), yang di dalamnya termasuk pula orang Eropa yang menetap (blijvers Pada tahun 1870 di Indonesia mulai dilaksanakan politik kolonial liberal yang sering disebut ”Politik Pintu Terbuka (open door policy)”. Sejak saat itu pemerintah Hindia Belanda membuka Indonesia bagi para pengusaha asing untuk menanamkan modalnya, khususnya di bidang perkebunan. Periode antara tahun 1870 -1900 disebut zaman liberalisme. Pada waktu itu pemerintahan Belanda dipegang oleh kaum liberal yang kebanyakan terdiri dari pengusaha swasta mendapat kesempatan untuk menanam modalnya di Indonesia dengan cara besar-besaran. Mereka mengusahakan perkebunan besar seperti perkebunan kopi, teh, tebu, kina, kelapa, cokelat, tembakau, kelapa sawit dan sebagainya. Mereka juga mendirikan pabrik seperti pabrik gula, pabrik cokelat, teh, rokok, dan lain-lain. Pelaksanaan politik kolonial liberal ditandai dengan keluarnya undang-undang agraria dan undang-undang gula. a. Undang-Undang Agraria (Agrarische W et) 1870 Undang-undang ini merupakan sendi dari peraturan hukum agraria kolonial di Indonesia yang berlangsung dari 1870 sampai 1960. Peraturan itu hapus dengan dikeluarkannya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960) oleh Pemerintah Republik Indonesia. Jadi Agrarische Wet itu telah berlangsung selama 90 tahun hampir mendekati satu abad umurnya.W e t itu tercantum dalam pasal 51 dariI n d i s c h e Staatsregeling, yang merupakan peraturan pokok dari undang-undang Hindia Belanda. Menteri jajahan Belanda De Waal, berjasa menciptakan wet ini yang isinya, antara lain sebagai berikut. Pasal 1 : Gubernur jenderal tidak boleh menjual tanah. Pasal 2 : Gubernur jenderal boleh menyewakan tanah menurut peraturan undang- undang. Pasal 3 : Dengan peraturan undang-undang akan diberikan tanah-tanah dengan hak erfpacht yaitu hak pengusaha untuk dapat menyewa tanah dari gubernemen paling lama 75 tahun, dan seterusnya. Undang-undang agraria pada intinya menjelaskan bahwa semua tanah milik penduduk Indonesia adalah milik pemerintah kerajaan Belanda. Maka pemerintah Belanda memberi mereka kesempatan untuk menyewa tanah milik penduduk dalam jangka waktu yang panjang. Sewa-menyewa tanah itu diatur dalam Undang-Undang Agraria tahun 1870. Undang-undang itu juga dimaksudkan untuk melindungi petani, agar tanahnya tidak lepas dari tangan mereka dan jatuh ke tangan para pengusaha. Tetapi seringkali hal itu tidak diperhatikan oleh pembesar-pembesar pemerintah. Dengan dibukanya perkebunan di daerah pedalaman, maka rakyat di desa- desa langsung berhubungan dengan dunia modern. Mereka mulai benar-benar mengenal artinya uang. Mereka juga mengenal hasil bumi yang diekspor dan barang luar negeri yang diimpor, seperti tekstil. Hal ini tentu membawa kemajuan bagi petani. Sebaliknya usaha bangsa sendiri banyak yang terdesak, misalnya usaha kerajinan, seperti pertenunan menjadi mati. Di antara pekerja-pekerjanya banyak yang pindah bekerja di perkebunan dan pabrik-pabrik. Karena adanya perkebunan- perkebunan itu, Hindia Belanda menjadi negeri pengekspor hasil perkebunan. b. Undang-Undang Gula (Suiker Wet) Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa tebu tidak boleh diangkut ke luar Indonesia, tetapi harus diproses di dalam negeri. Pabrik gula milik pemerintah akan dihapus secara bertahap dan diambil alih oleh pihak swasta. Pihak swasta juga diberi kesempatan yang luas untuk mendirikan pabrik gula baru. Sejak itu Hindia Belanda menjadi negara produsen hasil perkebunan yang penting. Apalagi sesudah Terusan Suez dibuka, perkebunan tebu menjadi bertambah luas, dan produksi gula juga meningkat. Terbukanya Indonesia bagi swasta asing berakibat munculnya perkebunan- perkebunan swasta asing di Indonesia seperti perkebunan teh dan kina di Jawa Barat, perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Timur, perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan perkebunan karet di Serdang. Selain di bidang perkebunan, juga terjadi penanaman modal di bidang pertambangan, seperti tambang timah di Bangka dan tambang batu bara di Umbilin. Khusus perkebunan di Sumatera Timur yaitu Deli dan Serdang, tenaga kerjanya didatangkan dari Cina di bawah sistem kontrak. Dengan hapusnya sistem perbudakan, maka sistem kerja kontrak kelihatan sebagai jalan yang paling logis bagi perkebunan-perkebunan Sumatera Timur, untuk memperoleh jaminan bahwa mereka dapat memperoleh dan menahan pekerja-pekerja untuk beberapa tahun. Dalam tahun 1888 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan pertama mengenai persyaratan hubungan kerja kuli kontrak di Sumatera Timur yang disebut (Koelie Ordonnantie). Koeli Ordonnantie ini, yang mula-mula hanya berlaku untuk Sumatera Timur tetapi kemudian berlaku pula di semua wilayah Hindia Belanda di luar Jawa, memberi jaminan-jaminan tertentu pada majikan terhadap kemungkinan pekerja-pekerja melarikan diri sebelum masa kerja mereka menurut kontrak kerja habis. Di lain pihak juga diadakan peraturan-peraturan yang melindungi para pekerja terhadap tindakan sewenang-wenang dari sang majikan. Untuk memberi kekuatan pada peratuan-peraturan dalam Koeli Ordonnantie, dimasukkan pula peraturan mengenai hukuman-hukuman yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran, baik dari pihak majikan maupun dari pihak pekerja. Dalam kenyataan ternyata bahwa ancaman hukuman yang dapat dikenakan terhadap pihak majikan hanya merupakan peraturan di atas kertas jarang atau tidak pernah dilaksanakan. Dengan demikian ancaman hukuman untuk pelanggaran-pelanggaran hanya jatuh di atas pundak pekerja-pekerja perkebunan. Ancaman hukuman yang dapat dikenakan Pelaksanaan politik pintu terbuka, tidak membawa perubahan bagi bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia tetap buruk nasibnya. Banyak di antara penduduk yang bekerja di perkebunan-perkebunan swasta dan pabrik-pabrik dengan perjanjian kontrak kerja. Mereka terikat kontrak yang sangat merugikan. Mereka harus bekerja keras tetapi tidak setimpal upahnya dan tidak terjamin makan dan kesehatannya. Nasib rakyat sungguh sangat sengsara dan miskin. Melihat kenyataan itu, para pengabdi kemanusiaan yang dulu menentang tanam paksa, mendorong pemerintah kolonial untuk memperbaiki nasib rakyat Indonesia. Sudah menjadi kewajiban pemerintah Belanda untuk memajukan bangsa Indonesia, baik jasmani maupun rohaninya. Dengan dalih untuk memajukan bangsa Indonesia itulah kemudian dilaksanakan Politik Etis. pada pekerja-pekerja perkebunan yang melanggar ketentuan- ketentuan kontrak kerja kemudian terkenal sebagai poenale sanctie. P o e n a l e sanctie membuat ketentuan bahwa; pekerja-pekerja yang melarikan diri dari perkebunan-perkebunan Sumatera Timur dapat ditangkap oleh polisi dan dibawa kembali ke perkebunan dengan kekerasan jika mereka mengadakan perlawanan. Lain-lain hukuman dapat berupa kerja paksa pada pekerja-pekerja umum tanpa pembayaran atau perpanjangan masa kerja yang melebihi ketentuan-ketentuan kontrak kerja. Politik Ethis Pencetus politik etis (politik balas budi) ini adalah Van Deventer. Van Deventer memperjuangkan nasib bangsa Indonesia dengan menulis karangan dalam majalah De Gids yang berjudul Eeu Eereschuld (Hutang Budi). Van Deventer menjelaskan bahwa Belanda telah berhutang budi kepada rakyat Indonesia. Hutang budi itu harus dikembalikan dengan memperbaiki nasib rakyat, mencerdaskan dan memakmurkan. Menurut Van Deventer, ada tiga cara untuk memperbaiki nasib rakyat tersebut yaitu memajukan : a. Edukasi (Pendidikan) Dengan edukasi akan dapat meningkatkan kualitas bangsa Indonesia sehingga dapat diajak memajukan perusahaan perkebunan dan mengurangi keterbelakangan. b. Irigasi (pengairan) Dengan irigasi tanah pertanian akan menjadi subur dan produksinya bertambah. c. Emigrasi (pemindahan penduduk) Dengan emigrasi tanah-tanah di luar Jawa yang belum diolah menjadi lahan perkebunan, akan dapat diolah untuk menambah penghasilan. Selain itu juga untuk mengurangi kepadatan penduduk Jawa. Pendukung Politik Etis usulan Van Deventer adalah sebagai berikut. - Mr. P. Brooshoof, redaktur surat kabar De Lokomotif, yang pada tahun 1901 menulis buku berjudul De Ethische Koers In de Koloniale Politiek (Tujuan Ethis dalam Politik Kolonial). - K.F. Holle, banyak membantu kaum tani. - Van Vollen Hoven, banyak memperdalam hukum adat pada beberapa suku bangsa di Indonesia. - Abendanon, banyak memikirkan soal pendidikan penduduk pribumi. - Leivegoed, seorang jurnalis yang banyak menulis tentang rakyat Indonesia. - Van Kol, banyak menulis tentang keadaan pemerintahan Hindia Belanda. - Douwes Dekker (Multatuli), dalam bukunya yang berjudul Max Havelaar, Saya dan Adinda. Usulan Van Deventer tersebut mendapat perhatian besar dari pemerintah Belanda, pemerintah Belanda menerima saran tentang Politik Etis, namun akan diselaraskan dengan sistem kolonial di Indonesia. (Edukasi dilaksanakan, tetapi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pegawai rendahan). Pendidikan dipisah- pisah antara orang Belanda, anak bangsawan, dan rakyat. Bagi rakyat kecil hanya tersedia sekolah rendah untuk mendidik anak menjadi orang yang setia pada penjajah, pandai dalam administrasi dan sanggup menjadi pegawai dengan gaji yang rendah. Dalam bidang irigasi (pengairan) diadakan pembangunan dan perbaikan. Tetapi pengairan tersebut tidak ditujukan untuk pengairan sawah dan ladang milik rakyat, namun untuk mengairi perkebunan-perkebunan milik swasta asing dan pemerintah kolonial. Emigrasi juga dilaksanakan oleh pemerintah Belanda bukan untuk memberikan penghidupan yang layak serta pemerataan penduduk, tetapi untuk membuka hutan- hutan baru di luar pulau Jawa bagi perkebunan dan perusahaan swasta asing. Selain itu juga untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah. Jelaslah bahwa pemerintah Belanda telah menyelewengkan Politik Etis. Usaha- usaha yang dilaksanakan baik edukasi, irigasi, dan emigrasi, tidak untuk memajukan rakyat Indonesia, tetapi untuk kepentingan penjajah itu sendiri. Sikap penjajah Belanda yang demikian itu telah menyadarkan bangsa Indonesia bahwa penderitaan dan kemiskinan rakyat Indonesia dapat diperbaiki jika bangsa Indonesia bebas merdeka dan berdaulat.

1 komentar: