Halaman

Selasa, 17 Desember 2013

Amanah kemerdekaan

Tiga "Amanah" Semangat Kemerdekaan Penulis : Rahmat Hidayat Nasution 17 Agustus merupakan hari yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia. Hari yang telah mengubah perjalanan sejarah dan telah membangkitkan semangat kebebasan. Artinya, hari yang telah membuktikan bahwa Indonesia merdeka dari segala bentuk penjajahan. Namun, cukup ironi jika hari yang memiliki makna yang begitu luar biasa hanya kerap dilalui dengan sekedar mengenang, memperingati, dan menghiasinya dengan berbagai kegiatan yang cenderung melupakan kita akan makna dan tujuan kemerdekaan. Seyogyanya, kita harus melihat bagaimana ‘rekaman’ perjalanan kemerdekaan ini secara utuh, bukan hanya hasil akhirnya saja. Tujuannya, agar kita bisa menuruskan cita-cita para pejuang. Mereka berjuang bukan untuk dirinya sendiri, tapi lebih terfokus untuk generasi selanjutnya yang akan menjadi pemegang amanah negeri ini. Karena itu, semangat kepahlwanan mereka, seharusnya, telah meresap dalam diri kita sejak mendengar, membaca, dan mengetahui sejarah kemerdekaan bangsa ini. Jika kita membaca kembali sejarah Indonesia Merdeka, minimal ada tiga “amanah” semangat yang dititipkan para pejuang untuk generasi setelah mereka. Tiga amanah itu sudah pasti akan menuntun kita menjadi orang sukses, apapun profesi yang dijalani dan ditekuni. Karena amanah itu telah diuji mampu membawa Indonesia sukses meraih kemerdekaan, tanpa ada pertumpahan darah sedikit pun. Amanah pertama, selalu berpikir positif. Di dalam buku-buku sejarah mengenai Indonesia merdeka, diterangkan bahwa pengumandangan proklamasi Indonesia, ternyata, didahului oleh perdebatan hebat antara golongan muda dengan golongan tua. Tujuan yang ingin dicapai sebenarnya sama. Sama-sama mengingingkan secepatnya dikumandangkan proklamasi kemerdekaan. Hanya saja, cara berfikir yang membedakan. Kaum tua menginginkan proklamasi terjadi tanpa ada pertumpahan darah. Berbeda dengan kaum muda yang mengingkan proklamasi secepatnya, sekalipun harus terjadi pertumpahan darah. Perbedaan pandangan ini selayaknya menjadi acuan buat kita sebagai generasi penerus perjuangan para pahlawan. Dalam menyelesaikan masalah, seharusnya kita tidak menggunakan cara instan yang dapat menyebabkan adanya pihak yang dirugikan. Itulah yang dikatakan sebagai orang senantiasa berpikir positif. Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah mengingatkan bahwa tujuan kita di dunia hanya menjadi khalifah yang senantiasa ditugaskan untuk melakukan perbuatan yang paling baik. “Dia yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu siapa yang paling baik amalnya. Dia yang Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Mulk [67] : 2). Ayat ini cukup jelas menuntun kita senantiasa berpikiran positif, karena memang sudah takdir bahwa tugas kita di bumi ini untuk selalu berbuat yang lebih baik. Bahkan Rasulullah SAW menganjurkan agar hidup kita pada hari ini senantiasa lebih baik dari kemarin dan menyongsong hari esok yang lebih baik dari hari ini. Hanya orang yang berpikiran positif yang dapat melakukan perbuatan yang kian hari kian baik. Oleh karena itu, apapun status kita sangat dituntut untuk selalu berpikir positif yang dapat melahirkan perbuatan yang baik. Jika kita seorang pelajar, kita harus membuktikan bagaimana pelajaran yang diberikan hari ini harus benar-benar bermanfaat untuk kita. Jika kita seorang guru, maka kita harus berpikir bagaimana cara mengajar kita hari ini lebih baik dari kemarin. Jika kita seorang leader (pimpinan), kita sangat dituntut untuk selalu bekerjasama dengan bawahan, agar perusahaan yang dibina makin bagus. Intinya, hanya orang berpikiran positif yang mampu mencapai kesuksesan. Tanamkanlah bahwa kita ada karena adanya orang lain. Kita memiliki status sebagai pimpinan karena orang lain sebagai bawahan kita. Dan akuilah bahwa hidup kita memang untuk membantu orang lain. Bukankah Rasulullah SAW pernah bertutur, “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain.”? Amanah kedua, sabar dan syukur. Sifat sabar dan syukur adalah pondasi utama kemerdekaan Indonesia. Tepatnya, saat kaum muda memaksa Soekarno untuk melakukan revolusi, Soekarno dengan santai menyatakan bahwa ada hari yang lebih tepat untuk memproklamasikan kemerdekaan. Soekarno memilih 17 Agustus sebagai hari untuk memproklamasikan Indonesia karena terinspirasi dengan tanggal turunnya Al-Qur’an. Karena saat itu, seluruh umat Islam sedang menjalankan puasa Ramadhan. Selain itu, tanggal 17 Agustus 1945 bertepatan jatuh pada hari Jum'at. Sehingga Soekarno berpikiran bahwa inilah saat yang tepat. Soekarno sabar dengan tidak menuruti keinginan kaum muda untuk segera mengumandangkan proklamasi, dan Soekarno bersyukur karena hari yang dipilihnya sebagai hari proklamator sesuai dengan hari yang istimewa untuk umat Islam. Maka, kita harus bersabar dan bersyukur dalam menentukan pilihan. Karena hidup memang pilihan. Jika kita ingin sukses, maka kita harus bisa melihat kesempatan yang ada. Bukankah dalam menemukan kesempatan dibutuhkan sabar dan syukur? Apapun status kita, sangat diharuskan mampu melihat kesempatan yang ada. Jika seluruh rakyat Indonesia mampu mengikuti alur perjuangan Soekarno dalam menentukan pilihan, mungkin saat ini Indonesia bisa menjadi negara maju. Tapi, tak perlu untuk disesali yang telah berlalu. Dengan bertambah umur bangsa ini, sudah saatnya kita sebagai rakyat Indonesia untuk juga berubah. Berubah menjadikan hari ini harus lebih baik dari kemarin. Pilihlah yang memang kita butuhkan dan sesuai dengan kesempatan yang ada. Tanamkan sifat sabar dan syukur dalam menentukan pilihan. Bukankah Allah berjanji, jika hamba-Nya bersyukur, niscaya Allah akan menambah nikmat hamba-Nya? (QS. Ibrahim [14] : 7). Amanah ketiga, jangan sombong. Dalam sejarah dikisahkan, bahwa Soekarno tidak mau membaca naskah proklamasi jika tidak didampingi oleh M. Hatta. Karena, Soekarno ingin menunjukkan kepada masyarakat Indonesia saat itu bahwa kemerdekaan Indonesia bukan di tangan satu orang, tapi di tangan bersama. Padahal, jika Soekarno ingin memproklamasikan Indonesia dengan sendiri, kemungkinan tidak ada yang menyalahkan. Sikap Soekarno seperti ini layak dijadikan teladan. Teladan karena meyakini bahwa hidup ini akan indah jika ada kebersamaan. Kebersamaan baru akan tercipta jika tidak ada ego antara satu dengan lainnya. Sikap seperti ini yang kurang menjamur di masyarakat kita. Sikap tidak sombong dan selalu merasa ada karena orang lain. Padahal Allah telah mensitir di dalam Al-Qur’an, “Bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan dan janganlah kamu bertolong-tolongan dalam kebatilan.” (QS. Al-Maidah [5] : 2). Karena itu, sudah saatnya menjalankan amanah semangat kemerdekaan yang dititipkan para pejuang. Harapannya, agar kita mampu membangun bangsa ini menjadi lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Karena perjuangan harus dilanjutkan, bukan hanya dijadikan kenangan sepanjang masa. Tak pelak lagi, hanya ada satu kata yang tetap dan harus selalu kita kumandangkan; Merdeka! Merdeka! Merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar